Selasa, 28 Mei 2013

TUHAN MENYELAMATKAN KELUARGAKU


          Gempa berkekuatan 5,9 skala Ritcher mengguncang bumi Jogja tujuh tahun silam, tepatnya hari Sabtu, 27 Mei 2006. Saat gempa mengguncang aku dan keluargaku pun merasakan getarannya yang sangat menakutkan karena kami tinggal tak begitu jauh dari pusat Kota Gudeg itu. Waktu itu sekitar pukul 6 pagi. Aku baru saja membuka mataku dan belum sempat doa pagi. Kami sekeluarga berlari berhamburan keluar rumah. Suasana di kampungku sangat kacau. Aku mendengar para tetangga berteriak histeris karena rumah mereka roboh. Aku juga melihat ada beberapa tetangga yang tertimbun reruntuhan rumah, bahkan ada yang meninggal. Gempa susulan berkekuatan kecil terus mengguncang dan kami sangat ketakutan.



          Dalam suasana yang mencekam dan memilukan itu, tiba-tiba jalan raya menjadi sangat penuh. Ada banyak pengungsi dari arah Jogja menuju ke timur dan mereka berteriak, ”Ada tsunami! Ada tsunami! Ayo ngungsi!” Semua orang di kampungku menjadi semakin panik. Banyak orang yang segera berkemas dan menumpang mobil-mobil yang lewat. Keluargaku pun tak ketinggalan. Kami segera mengambil sepeda motor dan bergegas menuju rumah nenek di Klaten. Sebenarnya aku ingin membawa serta anjing piaraanku, tapi bapak melarangnya. Jadi, kutinggalkan saja dia di dalam rumah. Semoga saja dia tidak mati, harapku.

Ibu membonceng bapak. Sedangkan aku membonceng adikku yang belum terlalu lancar naik sepeda motor karena waktu itu dia masih duduk di bangku SMP. Namun, aku percaya semua akan baik-baik saja. Sepanjang perjalanan aku terus berdoa dan mulutku tak henti-hentinya menyanyikan lagu-lagu pujian. Miris hatiku ketika melihat pemandangan kala itu. Rumah-rumah yang tinggal puing-puing dan korban luka-luka kutemui hampir di setiap sudut jalan yang kami lalui.

Akhirnya kami sampai juga di kediaman nenek di Klaten. Di sana kondisi lebih tenang, tidak sekacau di lingkungan sekitar tempat tinggalku. Namun, begitu sampai di sana kedua orang tuaku teringat pada kakek dan nenek (orang tua ibu) yang tinggal hanya 500 m dari rumah kami. Astaga! Kenapa kami bisa melupakan mereka? Bagaimana nasib mereka? Bapak dan ibu lalu memutuskan untuk kembali ke daerah kami, sementara kami dititipkan kepada nenek di Klaten. Selang beberapa jam kemudian mereka mengabari lewat telepon bahwa kondisi di daerahku sudah tenang dan aman. Lalu aku dan adikku memberanikan diri untuk pulang.

Di rumahku yang hanya rusak ringan dan masih utuh berdiri (puji Tuhan!), semua keluarga dari garis ibu sudah berkumpul. Bapak, ibu, kakek, nenek, kedua om, tante, sepupu-sepupu, pramurukti kakek, bahkan anjingku selamat. Aku sangat lega, bersyukur, dan terharu karena Tuhan melindungi kami semua. Ajaibnya, tak ada satu goresan luka pun di tubuh kami!

Peristiwa yang tak pernah bisa kulupakan adalah mujizat yang Dia lakukan. Saat gempa terjadi semua orang yang tinggal di rumah kakek sedang berada di luar rumah, kecuali kakek dan pramurukti yang bekerja pada keluarga kami. Kakek yang menderita stroke terbaring di kamarnya dan pramurukti berdiri di samping kakek. Dinding kamar kakek runtuh. Namun, dinding itu runtuh ke arah yang berlawanan dari tempat tidur kakek sehingga kakek dan pramurukti tidak terluka. Aku salut pada pramurukti itu karena dia tetap berada di samping kakek dalam kondisi bahaya sekalipun. Dia tidak lari menyelamatkan diri dan meninggalkan kakek. Dan terlebih lagi aku mengucap syukur kepada Tuhan karena mujizat yang Dia lakukan. Rumah kakek memang tinggal puing-puing, tetapi Tuhan menyelamatkan keluarga kami. Terima kasih, Tuhan ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar