Gempa berkekuatan 5,9 skala Ritcher
mengguncang bumi Jogja tujuh tahun silam, tepatnya hari Sabtu, 27 Mei 2006. Saat
gempa mengguncang aku dan keluargaku pun merasakan getarannya yang sangat
menakutkan karena kami tinggal tak begitu jauh dari pusat Kota Gudeg itu. Waktu
itu sekitar pukul 6 pagi. Aku baru saja membuka mataku dan belum sempat doa
pagi. Kami sekeluarga berlari berhamburan keluar rumah. Suasana di kampungku
sangat kacau. Aku mendengar para tetangga berteriak histeris karena rumah
mereka roboh. Aku juga melihat ada beberapa tetangga yang tertimbun reruntuhan
rumah, bahkan ada yang meninggal. Gempa susulan berkekuatan kecil terus
mengguncang dan kami sangat ketakutan.
Dalam suasana yang mencekam dan
memilukan itu, tiba-tiba jalan raya menjadi sangat penuh. Ada banyak pengungsi
dari arah Jogja menuju ke timur dan mereka berteriak, ”Ada tsunami! Ada
tsunami! Ayo ngungsi!” Semua orang di kampungku menjadi semakin panik. Banyak
orang yang segera berkemas dan menumpang mobil-mobil yang lewat. Keluargaku pun
tak ketinggalan. Kami segera mengambil sepeda motor dan bergegas menuju rumah
nenek di Klaten. Sebenarnya aku ingin membawa serta anjing piaraanku, tapi
bapak melarangnya. Jadi, kutinggalkan saja dia di dalam rumah. Semoga saja dia
tidak mati, harapku.
Ibu membonceng bapak. Sedangkan
aku membonceng adikku yang belum terlalu lancar naik sepeda motor karena waktu
itu dia masih duduk di bangku SMP. Namun, aku percaya semua akan baik-baik
saja. Sepanjang perjalanan aku terus berdoa dan mulutku tak henti-hentinya
menyanyikan lagu-lagu pujian. Miris hatiku ketika melihat pemandangan kala itu.
Rumah-rumah yang tinggal puing-puing dan korban luka-luka kutemui hampir di
setiap sudut jalan yang kami lalui.
Akhirnya kami sampai juga di
kediaman nenek di Klaten. Di sana kondisi lebih tenang, tidak sekacau di
lingkungan sekitar tempat tinggalku. Namun, begitu sampai di sana kedua orang
tuaku teringat pada kakek dan nenek (orang tua ibu) yang tinggal hanya 500 m
dari rumah kami. Astaga! Kenapa kami bisa melupakan mereka? Bagaimana nasib
mereka? Bapak dan ibu lalu memutuskan untuk kembali ke daerah kami, sementara
kami dititipkan kepada nenek di Klaten. Selang beberapa jam kemudian mereka
mengabari lewat telepon bahwa kondisi di daerahku sudah tenang dan aman. Lalu
aku dan adikku memberanikan diri untuk pulang.
Di rumahku yang hanya rusak
ringan dan masih utuh berdiri (puji Tuhan!), semua keluarga dari garis ibu
sudah berkumpul. Bapak, ibu, kakek, nenek, kedua om, tante, sepupu-sepupu, pramurukti
kakek, bahkan anjingku selamat. Aku sangat lega, bersyukur, dan terharu karena
Tuhan melindungi kami semua. Ajaibnya, tak ada satu goresan luka pun di tubuh
kami!
Peristiwa yang tak pernah bisa kulupakan
adalah mujizat yang Dia lakukan. Saat gempa terjadi semua orang yang tinggal di
rumah kakek sedang berada di luar rumah, kecuali kakek dan pramurukti yang bekerja
pada keluarga kami. Kakek yang menderita stroke terbaring di kamarnya dan pramurukti
berdiri di samping kakek. Dinding kamar kakek runtuh. Namun, dinding itu runtuh
ke arah yang berlawanan dari tempat tidur kakek sehingga kakek dan pramurukti
tidak terluka. Aku salut pada pramurukti itu karena dia tetap berada di samping
kakek dalam kondisi bahaya sekalipun. Dia tidak lari menyelamatkan diri dan
meninggalkan kakek. Dan terlebih lagi aku mengucap syukur kepada Tuhan karena
mujizat yang Dia lakukan. Rumah kakek memang tinggal puing-puing, tetapi Tuhan
menyelamatkan keluarga kami. Terima kasih, Tuhan ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar