Salam sejahtera ...
Masih ingat tulisanku
sebelumnya? Tulisanku kali ini ada kaitannya dengan tulisan sebelumnya. Setelah
gempa 27 Mei 2006, keluarga kakekku tinggal sementara di rumahku karena rumah
yang mereka tempati roboh. Trauma masih menghantui walaupun kami merasa sangat
bersyukur atas mujizat Tuhan saat gempa terjadi. Belum habis rasa cemas kami
akan bencana itu, Tuhan memanggil kakek ke pangkuanNya dua minggu setelah
gempa. Kami sekeluarga sedih, tetapi kami tahu bahwa Dia pasti punya rencana
indah di balik semua ini. Tuhan mengasihi kakek. Sekitar 3 bulan lamanya kakek
menderita stroke karena kecelakaan dan tidak bisa menggerakkan seluruh anggota
tubuhnya, kecuali satu tangannya. Tuhan tidak membiarkan kakek berlama-lama
menderita dalam penyakitnya dan memberikan yang terbaik di sisiNya. Selain itu,
Tuhan tidak mengambil kakek saat gempa terjadi sehingga bisa disemayamkan dalam
suasana yang lebih kondusif.
Perasaaan sedih karena kehilangan
kakek dan rumah beliau yang roboh akibat gempa sedikit banyak masih mengisi
hati kami sekeluarga. Sekitar dua minggu kemudian tiba-tiba aku dihubungi oleh Bapak
Pembantu Dekan (PD) 3 dari fakultasku. Aku kaget. Ada apakah gerangan?
Seingatku aku tidak pernah membuat masalah apapun di kampus. Ternyata beliau
menugaskan aku untuk menjadi wakil fakultas MIPA dalam kompetisi tari tingkat
universitas. Aku menolaknya dengan halus dan berusaha mencari alasan karena aku
merasa tidak percaya diri. Sudah lama aku tidak aktif menari sehingga
otot-ototku agak kaku. Selain itu, 3 tahun sebelumnya aku pernah ikut kompetisi
yang sama dan aku kalah. Namun, Bapak PD3 tidak mau dengar alasanku. Beliau tetap
memaksaku untuk mengikuti kompetisi itu. Akhirnya aku menyerah, kuterima tugas
itu walaupun dengan berat hati.
Hatiku galau. Gundah gulana.
Waktu yang diberikan untuk persiapan mengikuti kompetisi itu hanya beberapa
hari. Padahal aku sudah sekitar 2 tahun tidak menari dan tidak tahu akan
menampilkan tarian apa. Aku mencari kaset tari yang sudah lama hanya nongkrong
di rak kaset. Tari Jaipong! Yup, aku memilih tarian itu. Itu salah satu tarian
favoritku. Namun, kendala muncul lagi. Aku lupa gerakan-gerakannya! Maklum
saja, tarian itu terakhir aku bawakan sewaktu masih SMA. Hari pertama latihan,
aku ingat sekitar 20% gerakannya. Bagus! Hari kedua, meningkat jadi 40%. Sip!
Hari berikutnya jadi sekitar 70%. Lalu hari berikutnya? Aku mengulang dan
mengulang, berlatih dan berlatih, tetapi tidak bisa mengingat lebih jauh lagi. Jika
akan mengganti dengan tarian lain, aku semakin tidak ingat. Aku frustasi. Aku
menangis. Waktu terus berjalan dan persiapanku sangat tidak matang.
Tuhan tiba-tiba menyapaku.
Ketika aku berdoa, Dia menghiburku. Dalam sabdaNya, Tuhan mengatakan bahwa aku
tidak boleh bergantung dan bermegah pada kekuatan manusia tetapi di
dalam kelemahanku Tuhan akan menunjukkan kekuatanNya (maaf, aku lupa
dari kitab atau Injil yang mana). Sejak saat itu aku mulai sadar bahwa aku
tidak boleh mengandalkan kekuatanku, aku harus bergantung pada Tuhan. Sebelum
dan sesudah latihan aku selalu berdoa. Bahkan aku berdoa Novena Tiga Salam
Maria untuk intensiku ini. Aku yang semula lupa beberapa gerakan tari Jaipong
tersebut, mendapat anugerah ide yang sedikit “nakal” yaitu membuat koreografi
sendiri untuk bagian yang sama sekali tidak aku ingat. Hasilnya adalah sebuah
tari dengan gerakan lengkap! (dan aku pun berdoa semoga para juri tidak terlalu
teliti pada detail tarian ini hehe ...)
Satu masalah terselesaikan. Aku
sangat bersemangat. Aku sudah siap dengan tarianku. Namun, masalah lainnya
muncul. Satu hari sebelum kompetisi aku belum mendapatkan salon untuk merias
diri dan kostum yang akan aku pakai. Aku pun terus mendoakannya dan Tuhan
membuka jalan. Bersama seorang teman (yang kelak akan menjadi kompetitorku) aku
bisa menyewa kostum di Pura Mangkunegaran dan mendapatkan salon terdekat untuk
rias. Akhirnya tiba hari kompetisi itu. Aku sangat gugup. Sebelum acara dimulai
aku menyempatkan sedikit waktu untuk berdoa di sebuah sudut tangga yang sepi
tak jauh dari panggung. Aku tidak minta kemenangan, tetapi kuserahkan semuanya
pada kehendak Tuhan.
Malam itu aku menari dengan
lancar. Semua kontestan pun tampil dengan bagus. Namun, sungguh tak disangka
saat dewan juri mengumumkan bahwa aku menjadi penyaji terbaik 1 (juara 1) dalam
kompetisi itu. Aku sangat tidak percaya dan terharu. Tiada hentinya aku
mengucap syukur kepada Tuhan atas anugerahNya yang begitu indah. Salah satu
kompetitorku (yang menyewa kostum di Pura Mangkunegaran bersamaku) adalah
penari Pura Mangkunegaran dan tariannya sangat bagus. Aku pikir dia yang akan
menang. Tetapi, aku keliru. Tuhan memilihku dan memberikan padanya posisi
kedua.
Aku dan keluargaku sangat
bahagia dengan peristiwa ini. Rasanya seperti gerimis yang jatuh di tengah
gurun. Tak selang berapa lama aku mendapat anugerah lagi, yaitu dua buah
beasiswa korban gempa di mana salah satunya menggratiskan biaya SPP kepadaku
selama satu tahun. Sungguh, Tuhan luar biasa! Aku mengucap syukur atas semua
ini. Dia memberi penghiburan yang begitu berlimpah di tengah kesedihan kami.
Anugerah-anugerahNya laksana bianglala yang menghiasi langit senja.
------
di dalam kelemahanku Tuhan akan menunjukkan kekuatanNya -----