Akhir Maret 2009 aku mengalami perampokan saat hendak
pulang dari Solo menuju rumahku. Suatu sore ketika aku menunggu bus di tepi sebuah
perempatan besar, dua orang lelaki tiba-tiba mendatangiku, mengajakku bersalaman,
berkenalan, dan ngobrol. Mereka mengaku sebagai penganut Kristiani dan hendak
naik bus yang sama denganku. Kami mengalir dalam percakapan yang hangat.
Kemudian mereka mengajakku ke sebuah gang kecil yang tidak begitu jauh dari
tempat pemberhentian bus tersebut. Di gang tersebut mereka memintaku
menyerahkan barang-barang berhargaku dan aku menurut saja. Lalu aku disuruh
berjalan kembali ke perempatan jalan tadi. Aku pun menuruti perkataan mereka. Tiba-tiba
aku tersadar bahwa aku kehilangan tas dan semua barang bawaanku, termasuk juga
perhiasan yang kukenakan. Yang tersisa hanyalah pakaian dan jam tangan yang
kupakai. Ternyata aku menjadi korban gendam! Ketika aku kembali ke gang tadi,
kedua orang itu sudah tidak ada. Di tepi jalan aku menangis tersedu-sedu dan
menjadi bahan tontonan orang. Bersyukur ada yang iba padaku. Aku diberinya uang
untuk ongkos naik bus dan mengantarku ke kantor polisi terdekat. Setelah dari
kantor polisi aku beranikan diri naik bus walaupun saat itu sudah sangat malam.
Puji Tuhan, aku sampai di rumah dengan sehat dan selamat tanpa kurang apapun
juga (Puji Tuhan, aku tidak diperkosa, dianiaya, atau dibunuh... terima kasih, Tuhan
... terima kasih, Tuhan ... walaupun barang-barang berhargaku hilang, tetapi Engkau
masih melindungiku ...)
Berawal dari kisah tersebut aku mulai berurusan dengan dunia
“klenik”. Untuk menenangkan kondisi psikisku yang sedang tergoncang, keluargaku
bukannya mendoakan melainkan justru membawaku ke paranormal. Selama beberapa
bulan aku terlibat dalam ritual-ritual magis, seperti disuruh mandi dan minum
air kembang dsb. Puncaknya, aku diberi sebuah “kekuatan super” di tanganku
supaya tidak ada lagi orang yang menggangguku (padahal aku maupun keluargaku
tidak pernah memintanya). Sejak saat itu aku merasa menjadi orang lain yang
gampang marah. Setiap marah rasanya meledak-ledak. Bahkan, pernah suatu hari
saat aku marah aku spontan melempar cobek batu sampai pecah terbelah dua! Padahal
aku bukan tipikal orang berangasan. Sungguh, aku sangat tersiksa dengan keadaan
ini.
Bertahun-tahun aku hidup dalam kondisi itu dan sering
merasakan ada kegelapan yang menyelimutiku saat mengikuti ekaristi ataupun
berdoa, apalagi saat Misa Jumat Pertama. Sekitar satu tahun yang lalu, untuk
pertama kalinya di parokiku diadakan Adorasi Sakramen Maha Kudus di luar Misa
Jumat Pertama dan aku dengan penuh semangat mengikutinya. Aku begitu terhanyut
mengikuti setiap prosesi sampai air mataku berlinang. Hatiku terasa amat sangat
teduh dan damai. Saat Sakramen Maha Kudus mulai diarak dan didekatkan ke satu
per satu umat, aku sangat terkejut melihat beberapa orang berteriak-teriak dan
bergerak-gerak tidak karuan seperti sedang kesurupan. Mereka seperti marah dan
kesakitan, bahkan ada yang mendobrak-dobrak pintu gereja. Untung para petugas
yang gesit segera menenangkan mereka. Saat itu perasaanku campur-campur antara takut
dan takjub.
Perarakan Sakramen Maha Kudus semakin dekat ke arahku.
Aku terus berdoa dan menangis. Namun, rasanya ada kekuatan yang memaksaku untuk
membuka tanganku yang terkatup. Tanganku pun kubuka sehingga aku berdoa dalam
posisi kedua tangan menengadah. Tiba-tiba aku merasakan seperti ada sebuah “energi”
yang tersedot keluar dari tanganku. Beberapa menit kemudian tubuhku merasa
lebih ringan. Aku masih terus berdoa dan menangis saat Sakramen Maha Kudus
semakin dekat denganku. Saat berada sekitar 2-3 meter di depanku, aku merasakan
aura panas dan suci yang teramat mendalam. Sakramen Maha Kudus pun semakin dekat,
semakin dekat, dan akhirnya berhenti di hadapanku. Aku bersujud, menyembah,
tapi tak tahu harus mengatakan apa-apa. Sungguh, pengalaman batin yang luar
biasa! Aku belum pernah sedekat itu dengan Sakramen Maha Kudus. Setelah Adorasi
selesai aku merasakan hatiku sangaaaaaaatttt damai dan ringan.
Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku malam itu, yang
jelas sejak saat itu aku tidak pernah berangasan lagi. Kalau marah ya biasa
saja ... paling cuma menangis, mencoret-coret diary, atau merobek-robek kertas,
seperti diriku yang dulu. Mungkin Tuhan sudah mengusir “kekuatan super” itu
dari tanganku. Apapun yang Tuhan lakukan, aku sangat bersyukur. Dan aku takkan
membiarkan diriku terhanyut dalam aneka “klenik” lagi. Kapok! Tidak perlu “kekuatan-kekuatan
super” lagi karena memang aku bukan Superman hehehe... Biar kuasa Tuhan saja
yang melindungiku dari segala bahaya. Terpujilah Tuhan!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar