Rabu, 02 November 2011

KISAH PENJUAL TEMPE

Aku mendengar kisah ini dari homili Romo Supri di suatu Misa Minggu pagi beberapa bulan yang lalu. Kisah ini benar-benar menyentuh hatiku dan selalu terekam dalam ingatanku. Kisahnya adalah seperti berikut ini.

Alkisah ada seorang nenek tua yang tinggal sebatang kara di sebuah dusun terpencil. Untuk menyambung hidup, nenek ini bekerja sebagai penjual tempe. Ia biasa menjual dagangannya di sebuah pasar kecil dekat dusunnya. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang di daerah itu, pasar hanya dibuka 5 hari sekali yaitu pada hari pasaran tertentu menurut kalender Jawa.
Seperti biasa nenek itu membuat adonan tempe dari kedelai dan dibungkusnya dengan daun pisang. Namun, suatu malam peristiwa tak lazim dialaminya. Entah mengapa adonan tersebut belum berubah menjadi tempe padahal proses dan waktu pembuatan tempe sudah sesuai prosedur seperti biasa. Nenek itu sangat gugup karena besok pagi adalah hari pasaran di mana pasar hanya buka di hari itu. Kemudian nenek itu berdoa agar adonannya berubah menjadi tempe. Selesai berdoa sang nenek menengok adonan tempenya. Ternyata masih berupa kedelai. Nenek itu pun berdoa lagi lebih sungguh-sungguh dari sebelumnya. Ketika selesai berdoa dilihatnya lagi adonannya, ternyata masih belum jadi. Nenek itu berdoa lagi, melihat adonannya lagi, berdoa lagi, melihat adonannya lagi, dan seterusnya. Akan tetapi, kedelai-kedelai itu tak kunjung menjadi tempe juga. Akhirnya sang nenek lelah dan pergi tidur dengan gelisah. Dia berharap ada sebuah keajaiban terjadi selama dia tidur.
Keesokan harinya saat terbangun dari tidurnya nenek itu bergegas melihat adonan tempe yang dibuatnya. Hatinya berdebar-debar, tapi ternyata kedelai-kedelai itu belum menjadi tempe juga. Dia mulai mengeluh pada Tuhan, “Ya Tuhan, aku mohon ubahlah kedelai-kedelai ini menjadi tempe. Aku hanya memiliki satu hari ini untuk berjualan karena pasar hanya buka hari ini. Kalau hari ini aku tidak bisa menjual tempe-tempeku, aku tidak mendapat uang. Lalu untuk 5 hari ke depan aku akan makan apa? Untuk itu tolonglah, Tuhan, ubahlah kedelai-kedelai ini menjadi tempe agar aku bisa menjualnya.” Setelah itu dia bersiap-siap untuk pergi ke pasar.
Dalam perjalanan ke pasar si nenek tak henti-hentinya berdoa. Sesampainya di pasar dia duduk dan meletakkan keranjang dagangannya di tempat biasa, tetapi tidak berani menggelar dagangannya karena tempenya belum jadi. Hari pun mulai siang dan pasar hampir tutup, namun nenek itu hanya duduk, gelisah, dan tetap tidak berani mengeluarkan dagangannya. Tiba-tiba seorang ibu muda mendatanginya. Katanya, “Nek, apakah nenek menjual tempe yang belum jadi? Besok saya mau ke kota dan membawa tempe sebagai oleh-oleh. Tetapi, saya sudah berkeliling ke seluruh penjuru pasar ini dan tidak ada yang menjual tempe yang belum jadi.” Jantung sang nenek pun berdebar-debar. Dia mengubah doa dalam hatinya, “Tuhan, tolong jangan ubah adonan ini menjadi tempe.” Kemudian nenek itu membuka keranjangnya dengan tangan gemetar. Dan benar! Semua adonannya belum menjadi tempe! Ibu muda itu lantas memborong semua dagangan sang nenek. Nenek itu pun bersyukur tiada habis-habisnya. Sekarang dagangannya habis dan dia memiliki cukup uang untuk bertahan hidup beberapa hari ke depan.

Pesan yang hendak disampaikan dalam kisah ini adalah Tuhan selalu menjawab doa-doa umatNya walau kadang harus melalui proses yang tidak menyenangkan. Tuhan punya caraNya sendiri untuk menjawab doa kita. Manusia dengan segala keterbatasannya kadang tidak bisa memahami caraNya yang ajaib itu. Tetapi, kita harus percaya sepenuhnya bahwa rencana Tuhan selalu yang terbaik untuk kita dan indah pada waktunya. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar