Rabu, 02 November 2011

INDEKS PRESTASI KUMULATIF

Saat itu aku sudah begitu jenuh dengan skripsiku. Berkali-kali aku jatuh bangun menyusun skripsi tapi semua selalu gagal di tengah jalan gara-gara dosen pembimbingku yang perfeksionis. Akhirnya aku nekad mengambil sebuah judul dan mempertahankan pendirianku tentang skripsi yang aku susun tersebut. Tak peduli dosenku berkata apa, aku tetap maju terus memperjuangkannya dan mencari alasan supaya pendapatku bisa diterima. Sambil terus berjuang aku berserah pada Tuhan. Setiap saat aku berdoa demi kelancaran skripsiku.
Saat seminar proposal penelitian aku bisa menjawab setiap pertanyaan yang diajukan para dosen dan mahasiswa yang hadir dengan baik. Aku berharap dan berdoa agar mendapat nilai A (4). Tetapi, ternyata dugaanku meleset. Aku “hanya” memperoleh nilai B (3). Aku menjadi kecewa dan bersungut-sungut pada Tuhan karena Dia tidak menjawab doaku. Seiring berjalannya waktu aku menepis kekecewaanku dan terus melangkah menuju penelitian. Aku pun semakin giat dalam doaku agar memperoleh nilai skripsi A.
Dalam proses penelitian aku kembali menemui kendala. Salah satu unsur vital dalam penelitianku, yaitu mengukur aktivitas suatu enzim, tidak bisa dilaksanakan. Sebelum penelitian aku sudah mengadakan survei dan memperoleh kepastian tentang sebuah laboratorium yang memiliki alat dan reagen pengukur aktivitas enzim tersebut. Namun, saat penelitian berjalan pihak laboratorium tersebut menyatakan tidak bisa membantuku karena mereka tidak memiliki reagen yang dibutuhkan. Aku pun berkeliling dari laboratorium satu ke laboratorium yang lain. Akan tetapi, hasilnya nol. Aku tidak menemukan satu laboratorium pun yang bisa membantuku.
Aku melaporkan hal ini pada dosen pembimbingku. Beliau menanggapi dengan perkataan enteng, “Kalau begitu hapus saja bagian yang membahas enzim itu dan sebagai konsekuensinya nilai skripsimu tidak bisa A.” Aduuuuuhhhh...cobaan apa lagi ini? Nilai seminarku tidak A, masa nilai skripsiku juga tidak bisa A? Aku sangat kecewa pada Tuhan. Lagi-lagi doaku tidak dijawab! Akan tetapi, keadaan itu tidak membuatku menyerah. Aku terus berusaha sampai akhirnya aku lulus dengan nilai skripsi B. Hatiku benar-benar tidak puas, tetapi mau bagaimana lagi. Mungkin ini sudah kehendak Tuhan.
Keajaiban terjadi saat yudisium tiba. Mataku terbelalak tidak percaya saat melihat KHS (Kartu Hasil Studi). Di sana tertulis IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) 3,xx. Tepat seperti yang kudoakan jauh-jauh hari sebelum aku menyusun skripsi! Saat itu mataku menjadi terbuka. Aku melihat berkat Tuhan yang luar biasa. Aku jadi tahu mengapa Tuhan “hanya” memberikanku nilai seminar B, mengapa Tuhan menggagalkan sebagian rencana penelitianku sehingga nilai skripsiku juga “hanya” B. Ternyata setelah semua nilai dari semester I sampai dengan semester terakhir, nilai seminar dan skripsi dijumlah, kemudian hasilnya dibagi jumlah seluruh SKS (Satuan Kredit Semester) yang kutempuh diperoleh angka 3,xx. Ternyata semua dilakukanNya untuk menjawab doaku yang meminta nilai 3,xx pada hasil akhir studi. Bahkan, bukan hanya itu. Tuhan memberiku bonus. Di antara 7 orang dari satu jurusan yang diwisuda pada hari yang sama, nilaiku menjadi yang tertinggi! Puji Tuhan! Sungguh Tuhan luar biasa! Caranya menjawab doaku sungguh tak terduga. Aku sangat bersyukur atas semuanya ini :)

KISAH PENJUAL TEMPE

Aku mendengar kisah ini dari homili Romo Supri di suatu Misa Minggu pagi beberapa bulan yang lalu. Kisah ini benar-benar menyentuh hatiku dan selalu terekam dalam ingatanku. Kisahnya adalah seperti berikut ini.

Alkisah ada seorang nenek tua yang tinggal sebatang kara di sebuah dusun terpencil. Untuk menyambung hidup, nenek ini bekerja sebagai penjual tempe. Ia biasa menjual dagangannya di sebuah pasar kecil dekat dusunnya. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang di daerah itu, pasar hanya dibuka 5 hari sekali yaitu pada hari pasaran tertentu menurut kalender Jawa.
Seperti biasa nenek itu membuat adonan tempe dari kedelai dan dibungkusnya dengan daun pisang. Namun, suatu malam peristiwa tak lazim dialaminya. Entah mengapa adonan tersebut belum berubah menjadi tempe padahal proses dan waktu pembuatan tempe sudah sesuai prosedur seperti biasa. Nenek itu sangat gugup karena besok pagi adalah hari pasaran di mana pasar hanya buka di hari itu. Kemudian nenek itu berdoa agar adonannya berubah menjadi tempe. Selesai berdoa sang nenek menengok adonan tempenya. Ternyata masih berupa kedelai. Nenek itu pun berdoa lagi lebih sungguh-sungguh dari sebelumnya. Ketika selesai berdoa dilihatnya lagi adonannya, ternyata masih belum jadi. Nenek itu berdoa lagi, melihat adonannya lagi, berdoa lagi, melihat adonannya lagi, dan seterusnya. Akan tetapi, kedelai-kedelai itu tak kunjung menjadi tempe juga. Akhirnya sang nenek lelah dan pergi tidur dengan gelisah. Dia berharap ada sebuah keajaiban terjadi selama dia tidur.
Keesokan harinya saat terbangun dari tidurnya nenek itu bergegas melihat adonan tempe yang dibuatnya. Hatinya berdebar-debar, tapi ternyata kedelai-kedelai itu belum menjadi tempe juga. Dia mulai mengeluh pada Tuhan, “Ya Tuhan, aku mohon ubahlah kedelai-kedelai ini menjadi tempe. Aku hanya memiliki satu hari ini untuk berjualan karena pasar hanya buka hari ini. Kalau hari ini aku tidak bisa menjual tempe-tempeku, aku tidak mendapat uang. Lalu untuk 5 hari ke depan aku akan makan apa? Untuk itu tolonglah, Tuhan, ubahlah kedelai-kedelai ini menjadi tempe agar aku bisa menjualnya.” Setelah itu dia bersiap-siap untuk pergi ke pasar.
Dalam perjalanan ke pasar si nenek tak henti-hentinya berdoa. Sesampainya di pasar dia duduk dan meletakkan keranjang dagangannya di tempat biasa, tetapi tidak berani menggelar dagangannya karena tempenya belum jadi. Hari pun mulai siang dan pasar hampir tutup, namun nenek itu hanya duduk, gelisah, dan tetap tidak berani mengeluarkan dagangannya. Tiba-tiba seorang ibu muda mendatanginya. Katanya, “Nek, apakah nenek menjual tempe yang belum jadi? Besok saya mau ke kota dan membawa tempe sebagai oleh-oleh. Tetapi, saya sudah berkeliling ke seluruh penjuru pasar ini dan tidak ada yang menjual tempe yang belum jadi.” Jantung sang nenek pun berdebar-debar. Dia mengubah doa dalam hatinya, “Tuhan, tolong jangan ubah adonan ini menjadi tempe.” Kemudian nenek itu membuka keranjangnya dengan tangan gemetar. Dan benar! Semua adonannya belum menjadi tempe! Ibu muda itu lantas memborong semua dagangan sang nenek. Nenek itu pun bersyukur tiada habis-habisnya. Sekarang dagangannya habis dan dia memiliki cukup uang untuk bertahan hidup beberapa hari ke depan.

Pesan yang hendak disampaikan dalam kisah ini adalah Tuhan selalu menjawab doa-doa umatNya walau kadang harus melalui proses yang tidak menyenangkan. Tuhan punya caraNya sendiri untuk menjawab doa kita. Manusia dengan segala keterbatasannya kadang tidak bisa memahami caraNya yang ajaib itu. Tetapi, kita harus percaya sepenuhnya bahwa rencana Tuhan selalu yang terbaik untuk kita dan indah pada waktunya. :)

CERITA YANG TERULANG

Seperti biasa setiap hari Minggu pagi aku selalu pergi ke gereja untuk mengikuti Misa Kudus. Pada suatu hari Minggu aku mendengar homili dari Romo yang menceritakan pengalaman pribadinya tentang kasih saudara seiman. Kurang lebih seperti ini cerita beliau.
Suatu hari Romo pergi makan siang di suatu restoran. Karena meja-meja di sana penuh, maka Romo duduk semeja dengan beberapa orang yang tampaknya seperti sebuah keluarga. Sambil menunggu penyajian makanan yang dipesan, Romo pun berbincang-bincang dengan beberapa orang yang ada di hadapannya itu. Dari pembicaraan tersebut diketahui bahwa beberapa orang tersebut memeluk agama Katolik. Mereka pun berkenalan. Pembicaraan menjadi semakin dalam dan hangat.
Ketika makanan telah tersaji mereka pun menghentikan pembicaraan dan segera menyantap makanan masing-masing. Keluarga itu selesai lebih dulu dan mereka mohon pamit pada Romo. Setelah Romo selesai makan beliau menuju meja kasir untuk membayar makanannya. Namun, ketika hendak membayar kasir itu mengatakan bahwa makanan yang dimakan Romo sudah dibayar oleh orang-orang yang semeja dengan Romo tadi. Romo begitu bersyukur, tapi sayang tidak bisa mengucapkan terima kasih pada orang-orang tersebut karena mereka sudah meninggalkan restoran lebih dulu.
Aku mendengarkan baik-baik kisah Romo itu dan selalu terngiang-ngiang. Dalam hatiku muncul sebersit keraguan. Apakah mungkin saudara seiman cenderung berbuat baik padahal belum saling mengenal? Mungkinkah kisah Romo itu dapat kualami dalam kehidupanku?
           Suatu sore pertanyaanku terjawab. Selepas kuliah hari Jumat aku hendak pulang kampung karena aku kuliah di luar kota. Di salah satu sudut perempatan jalan di mana aku biasa menunggu bus aku melihat ada beberapa orang yang  juga menunggu bus berdiri di situ. Di sampingku ada seorang ibu dengan pakaian rapi. Sepertinya beliau seorang pegawai kantor. Iseng saja ibu itu menanyakan jurusan bus yang akan aku naiki. Aku menjawab akan pergi ke Prambanan. Ternyata ibu itu akan pergi ke Klaten, jadi bus yang kami tunggu sama karena searah. Sambil menunggu bus kami pun terlibat pembicaraan lebih jauh sampai kuketahui bahwa beliau juga seorang Katolik. Dalam hati aku teringat kisah Romo hari Minggu kemarin. Aku pun sedikit berharap kisah itu akan terulang padaku.
Akhirnya bus yang kami tunggu datang juga. Kami segera naik dan duduk di kursi yang bersebelahan. Selama perjalanan kami terus ngobrol. Ternyata ibu itu adalah seorang guru SMP. Beliau banyak berkeluh kesah tentang beratnya syarat sertifikasi guru yang sedang dijalani. Aku pun mendengarkannya dengan setia sambil sesekali memberi tanggapan ringan. Saat kondektur menagih ongkos, dengan cepat ibu itu menyerahkan uang kepadanya. “Klaten dan Prambanan,” kata ibu itu. Ups! Beliau membayar ongkosku? Padahal kami belum kenal sebelumnya. Benarkah cerita Romo itu terulang padaku? Aku sedikit tidak percaya. Setelah itu aku mengucapkan terima kasih. Pembicaraan pun terus berlanjut sampai akhirnya beliau turun.
Aku tidak akan melupakan kisah ini. Kisah dari homili Romo yang terulang padaku dalam versi lain. Aku benar-benar mengalami sendiri kebaikan hati saudara seiman walaupun kami belum saling mengenal. Lebih dari itu, ibu guru tadi juga sempat menawarkan pekerjaan bagiku sebagai guru matematika di sekolahnya. Namun, karena kuliahku lain jurusan dan tidak menguasai matematika aku tidak bisa menerima tawaran itu. Ah, sungguh kisah yang indah untuk dikenang... Terima kasih, Tuhan :)

MY GUARDIAN ANGEL

Sejak kecil aku sudah menjadi Katolik, tetapi aku tak pernah tahu siapa itu malaikat pelindung karena tak pernah ada orang di sekitarku yang menceritakannya atau sekedar membicarakannya. Baru awal tahun 2008 saat sedang browsing internet secara tidak sengaja aku membaca artikel tentang malaikat pelindung di situs yesaya.indocell.net. Di sana ditulis panjang lebar mengenai siapa itu malaikat pelindung, tugas-tugasnya, dan sebagainya. Lalu pada artikel itu juga memuat Doa Malaikat Pelindung.

Aku menyimpan copy Doa Malaikat Pelindung tersebut dan menge-print-nya. Setiap hari setelah membaca renungan pagi aku selalu mendoakannya. Hari demi hari pun berlalu hingga suatu malam aku menemukan sebuah keajaiban. Sebuah mujizat terjadi padaku.
Saat itu aku berada di tahun ke-5 kuliahku di jurusan Biologi. Sungguh, suatu kondisi yang tidak menyenangkan bagi mahasiswa S1 seperti aku. Aku sudah melewati target rata-rata lulus yaitu 4 tahun kuliah. Bukan karena IPK-ku jelek, tetapi karena skripsiku yang bermasalah. Skripsi sudah mulai kukerjakan di tahun 2007. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi entah mengapa selalu saja ada kendala dalam menyelesaikannya. Aku pun jatuh dalam titik jenuh, stres, dan mulai putus asa.
Malam itu, Senin, 3 Maret 2008 pukul 21.56 WIB. Pikiranku begitu gelisah memikirkan skripsiku yang tak kunjung menemukan titik terang penyelesaiannya. Aku mulai goyah dan tergoda untuk mundur saja dari perjuangan melelahkan ini. Kuambil diary-ku dan kucoret-coret sesuka hati. Kutumpahkan segala rasa sedih dan  putus asa di sana. Setelah menulis 1 halaman aku membuka halaman ke-2. Tiba-tiba pikiranku sekonyong-konyong menjadi kosong. Entah mengapa aku tidak bisa memikirkan hal apapun juga. Anehnya, tanganku terus bergerak memegangi pulpen dan terus menulis di atas diary-ku!
Setelah menulis sebanyak dua per tiga halaman di halaman kedua diary-ku, secara tiba-tiba pula aku tersentak dan tersadar. Pikiranku seperti pulang dari suatu “perjalanan jauh”, tetapi aku tidak mengerti apa-apa. Rasanya linglung...bingung. Aku pun terheran-heran dan bertanya-tanya dalam hati. Apa yang baru saja aku kerjakan?
Aku seperti tidak percaya saat membaca tulisan di halaman kedua diary-ku. Siapa yang menulis? Pikiranku kosong, tetapi di sana ada tulisan yang jelas-jelas bukan dari hasil pikiranku! Tulisan itu memberiku penghiburan dan semangat untuk terus maju menyelesaikan skripsiku. Hatiku berkobar-kobar saat membacanya. Mataku benar-benar terbelalak dan jantungku berdegup kencang ketika membaca tulisan di baris paling bawah...”SALAM SAYANG...MALAIKAT PELINDUNGMU...”!!!

Ini diary bersejarahku.
Pada bagian yang kutandai tanda kurung tebal itulah
tulisan tanganku yang diilhami oleh malaikat pelindungku

Berikut ini kutipan tulisan itu:

"Tuhan sedang menjawab doamu, Nak! Tuhan ada di balik semua kesulitan ini, menempamu supaya menjadi besi yang berharga...membentuk tanah liat menjadi bejana yang indah...Kenapa kau terus mempertanyakan cintaNya? Ini cintaNya! Salib ini adalah cintaNya! Kau dipilih Allah. Kau dipanggil Allah untuk disiapkan menjadi manusia yang sempurna, berkarakter Kristus. Biologi adalah panggilanmu saat ini. Jangan berlari! Akan ada waktu nanti untuk memuaskan hati. Di sini Allah sedang membentukmu menjadi cantik...secantik bidadari. Kau tidak salah langkah. Allah menuntunmu. Kau dituntun Allah menuju jalanNya, jalan keselamatan. Jangan stres, jangan panik, jangan sedih! Lalui semua ini! Dalam Dia ada penyelesaian segala perkara. Ok? >_* Salam sayang...Malaikat Pelindungmu...”

 Kejadian itu membuatku percaya bahwa malaikat pelindung itu benar-benar ada. Sejak saat itu aku jadi bersemangat mengerjakan skripsiku dan akhirnya aku bisa lulus di tahun 2009. Selain itu, aku pun makin rajin mendoakan Doa Malaikat Pelindung. Sebagai hasilnya, hatiku menjadi lebih peka dan terarah. Setiap saat dalam hatiku aku mendengar suara malaikat pelindungku yang menasehati, menghibur, serta membimbing langkahku. Terima kasih, Malaikat Pelindungku...(Oya, sampai sekarang lembaran diary itu masih aku simpan rapi. Sampai kapanpun aku takkan melupakan tulisan malaikat pelindungku ^_^)